Klaim kebudayaan Indonesia masih saja terus dilakukan oleh Malaysia. Beberapa waktu yang lalu misalnya, terjadi polemik yang cukup seru tentang kepemilikan yang sah produk kesenian Reog. Malaysia menyatakan bahwa tarian itu sejenis kesenian barongan. Tapi saya rasa tidak tepat karena ada karakter burung merak yang sangat jelas tidak terdapat pada barongan. Kesenian Reog lahir karena sebuah legenda yang muncul pada jaman kerajaan Majapahit. Lalu klaim mereka terhadap lagu Rasa Sayange yang sudah dijadikan theme song tahun kunjungan wisata mereka. Lagu ini berasal dari Maluku yang unsur budayanya jelas lebih dipengaruhi unsur budaya kawasan papua, bukan Melayu. Setelah lagu ‘rasa sayange’, batik, angklung, reog Ponorogo, bunga Raflesia, dan yang terbaru tarian sakral Bali, tari Pendet. Pola pengklaimannya pun dilakukan melalui momentum formal kenegaraan. Seperti melalui media promosi ‘Visit Malaysia Year’ yang diselipkan kebudayaan nasional Indonesia. Geram dan marah muncul dari masyarakat Indonesia menyikapi klaim kebudayaan yang dilakukan Malaysia. Berbagai aset budaya nasional dalam rentang waktu yang tak begitu lama, diklaim negara tetangga.
Persoalan seperti klaim tari Pendet oleh Malaysia masih berpeluang terus terjadi dan tidak hanya dari Malaysia, namun negara lainnya di sekitar Indonesia.
Saya menyarankan, agar pemerintah mendata ulang kekayaan budaya Nusantara dengan menerbitkan hak cipta. Menurut saya, kasus seperti klaim Tari Pendet dan kasus lain yang telah terjadi sebelumnya seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah dan menyadarkan pemerintah untuk cepat bertindak.
Persoalan klaim kebudayaan Indonesia oleh Malaysia ada baiknya telunjuk Indonesia tak hanya menuding pihak Malaysia semata. Tak salah jika melakukan introspeksi atas ketahanan dan kepedulian bangsa ini terhadap warisan nenek moyangnya. Perlunya kesadaran aspek hukum oleh masyarakat Indonesia terhadap perlindungan dan pelestarian produk budaya Indonesia juga harus ditingkatkan. Ketidaktahuan tentang adanya Hak Kekayaan Intelektual atas produk-produk makanan, budaya, kesenian dan lain-lain menjadikan budaya kita sebagian tidak terlindungi oleh hukum. Sehingga celah ini bisa dimasuki dan di manfaatkan oleh negara-negara lain untuk mengklaim budaya Indonesia. Melalui tulisan ini semoga bisa menambah khasanah pengetahuan pembaca tentang Hak Kekayaan Intelektual/HKI, sehingga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari ataupun disampaikan ke orang lain dalam upaya untuk melindungi produk-produk budaya Indonesia dari klaim negara lain.
PENGERTIAN DAN REZIM HKI
Intellectual property right dipadankan menjadi Hak kekayaan intelektual dalam bahasa Indonesia, berdasarkan Keputusan Menteri Hukum Dan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor M.03.PR.07 Tahun 2000 dan telah mendapat persetujuan dari Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dalam suratnya Nomor 24/M/PAN/1/2000, dapat disingkat dengan HKI atau dengan akronim HaKI.
Rezim/jenis HKI dalam perspektif hukum Indonesia terdiri dari:
1. Hak Cipta dan hak terkait dengan Hak Cipta (Copy right dan Neiughbouring right), termasuk pengetahuan tradisional (traditional knowledge) bidang budaya, seperti folklor dapat berbentuk ekspresi cerita rakyat, musik, tarian, nyanyian;
2. Hak milik industri (Industrial property right), yang terdiri dari:
a. Paten (patent), termasuk pengetahuan tradisional (traditional knowledge) bidang teknis medis, industri, pertanian, dan bidang lainnya yang berkaitan.
b. Desain Industri (industrial design), termasuk pengetahuan tradisional (traditional knowledge) bidang desain, kerajinan tangan, dan simbol-simbol.
c. Merek (Barang dan Jasa) (trade mark) termasuk indikasi geografis (Geographycal Indication), indikasi asal (indications of origin) atau indikasi sumber (indication of source) dan penamaan asal (appellations of origin);
d. Penanggulangan praktik persaingan curang (repression of unfair competition);
e. Desain tata letak sirkuit terpada (layout design of integrated circuit )
f. Rahasia Dagang (trade secret);
g. Varietas tanaman;
Disamping rezim HKI di atas masih terdapat juga rezim HKI Tradisional,yang terdiri dari:
a. Sumber Daya Genetik (Genetic Resources)
Sumber daya hayati merupakan identitas budaya bagi komunitas adat, dimana proses kepunahan sumber daya hayati berarti kepunahan kebudayaan komunitas adat. Pemanfaatannya, untuk pangan, papan, dan sandang dan kelestarian sumber daya hayati erat kaitannya dengan kearifan tradisional yang dimiliki oleh komunitas. Sehingga pemanfaatan dan perlindungan sumber daya hayati harus berangkat dari nilai-nilai budaya ataupun ekspresi budaya yang menjadi bagian dari kehidupan keseharian mereka.
b. Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge)
Pengertian pengetahuan tradisional, menurut Agus Sardjono, merupakan pengetahuan yang dimiliki atau dikuasai dan digunakan oleh satu komunitas, masyarakat, atau suku bangsa tertentu yang bersifat turun temurun dan terus berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan.
Dalam pada itu, pengetahuan tradisional, menurut Henry Soelistio Budi, adalah pengetahuan yang status dan kedudukannya ataupun penggunaannya merupakan bagian dari tradisi budaya masyarakat.Sementara itu, interpretasi dari pengetahuan tradisional, menurut Prabudda Ganguli, menggabungkan inovasi dan banyaknya pengetahuan yang secara terus menerus dikembangkan, diperoleh, digunakan, dijalankan, ditransmisikan, dan diteruskan oleh komunitas melalui generasi yang ditopang oleh ekologi mereka, lingkungan, pola hidup, tingkah laku, masyarakat, dan kebudayaan.
Pengetahuan tradisional bersifat dinamis, dalam arti diciptakan dan dibuat dalam menjawab setiap tantangan sosial dan tantangan alam yang berkaitan dengan ikwal pertanian, makanan, lingkungan dan kesehatan termasuk obat-obat yang berhubungan dengan obat penyembuhan, pengetahuan yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati, ekspresi folklor dalam bentuk musik, tarian, lagu, desain-desain kerajinan tangan, cerita, karya-karya seni, elemen-elemen bahasa seperti nama-nama, indikasi geografis dan simbol-simbol serta properti kebudayaan yang dapat dipindah-pindahkan. Sedangkan hal-hal yang tidak diahasilkan dari kegiatan intelektual di bidang industri, ilmu pengetahuan, sastra atau seni, seperti sisa-sisa peninggalan manusia (fosil), bahasa umumnya, dan warisan budaya dalam arti luas (cultural heritage). Contoh sederhana dari pengetahuan tradisional di Indonesia misalnya pranoto mongso (pengetahuan yang mengajarkan bagaimana membaca musim), teknik atau cara bercocok tanam, terapi pengobatan, perawatan tubuh, dan teknik memproses kain batik ataupun pewarnaan kain dengan bahan dari tumbuhan (untuk sekedar membedakan dengan wenter, dan naptol).
Adapun ruang lingkup pengetahuan tradisional dalam sistem hukum HKI Indonesia, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. bidang budaya, seperti folklore dapat berbentuk ekspresi cerita rakyat, musik, tarian, nyanyian, yang lebih banyak berkaitan dengan hak cipta;
2. bidang teknis medis, industri, pertanian, dan bidang lainnya yang berkaitan dengan paten;
3. bidang desain, kerajinan tangan, dan simbol-simbol yang berkaitan dengan desain industri, serta;
4. Indikasi geografis, dan indikasi asal serta penamaan asal yang berkaitan dengan merek.
c. Ekspresi Kebudayaan Tradisional (Folklor)
RPP mengenai "Hak Cipta atas Folklor yang Dipegang oleh Negara", adalah jabaran lebih khusus mengenai pengaturan folkor dalam Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002. Dalam draft Peraturan Pemerintah tersebut yang disebut sebagai folklor dipilah ke dalam:
(1) ekspresi verbal dan non-verbal dalam bentuk cerita rakyat, puisi rakyat, teka-teki, pepatah, peribahasa, pidato adat, ekspresi verbal dan non-verbal lainnya;
(2) ekspresi lagu atau musik dengan atau tanpa lirik;
(3) ekspresi dalam bentuk gerak seperti tarian tradisional, permainan, dan upacara adat;
(4) karya kesenian dalam bentuk gambar, lukisan, ukiran, patung, keramik, terakota, mosaik, kerajinan kayu, kerajinan perak, kerajinan perhiasan, kerajinan anyam-anyaman, kerajinan sulam-sulaman, kerajinan tekstil, karpet, kostum adat, instrumen musik, dan karya arsitektur, kolase dan karya-karya lainnya yang berkaitan dengan folklor.
Di bawah UU Hak Cipta tersebut dirancang suatu Peraturan Pemerintah (PP) tentang "Hak Cipta atas Folklor yang Dipegang oleh Negara". Dalam hal itu yang dimaksud dengan "folklor" adalah segala ungkapan budaya yang dimiliki secara bersama oleh suatu komuniti atau masyarakat tradisional. Termasuk ke dalamnya adalah karya-karya kerajinan tangan. Dalam RPP tersebut dimasukkan pokok mengenai perlindungan terhadap pemanfaatan oleh orang asing, di mana pihak pemanfaat itu harus lebih dahulu mendapat izin dari instansi pemerintah yang diberi kewenangan untuk itu, serta apabila perbanyakan dilakukan untuk tujuan komersial, harus ada "keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi" dari karya folklor tersebut.
Seni dan budaya tidaklah statis, melainkan dinamis dan secara kontinu terus dimanfaatkan oleh masyarakat hingga kini dengan perubahan dan peningkatan. Misalnya adalah motif batik. Dalam kebudayaan Jawa telah mentradisi berupa sejumlah motif dasar, misalnya yang disebut truntum, semèn, kawung, parang, dll. Demikian juga dalam kain tenun seperti songket (Sumatera), lurik (Jawa), dll. Demikian juga dalam bidang kuliner, dikenal makanan “Coto Makassar” (Makasar), “Empe-empe” (Palembang), “Gudeg” (Yogyakarta), dll.
UPAYA PERLINDUNGAN HKI
Dalam undang-undang HKI yang telah ada, undang-undang yang secara ekspilisit mupun tidak langsung menyebutkan mengenai traditional knowldege, yaitu:
Undang-Undang Hak Cipta (UU No. 12 Tahun 1997 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undangt-Undang Nomor 7 Tahun 1987)
Dalam Pasal 10, dan Pasal 11 (1), disebutkan sebagai berikut:
Pasal 10
(1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan pra sejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya.
(2) a. Hasil Kebudayaan Rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya dipelihara dan dilindungi oleh Negara;
b. Negara memegang Hak Cipta atas ciptaan tersebut pada ayat (2)a terhadap luar negeri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Dalam Undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang meliputi karya :
a. buku, program komputer, pamflet, susunan perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;
b. ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lainnya yang diwujudkan dengan cara diucapkan;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks, termasuk karawitan, dan rekaman suara;
e. drama, tari (koreografi), pewayangan, pantomim;
f. karya pertunjukan;
g. karya siaran;
h. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, seni terapan yang berupa seni kerajinan tangan;
i. arsitektur;
j. peta;
k. seni batik;
l. fotografi;
m. sinematografi;
n.terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, dan karya lainnya dari hasil pengalihwujudan.
Selain dengan Undang-Undang Hak Cipta di atas, upaya pemerintah yang telah dilakukan pemerintah antara lain:
1. Indonesia saat ini telah meratifikasi konvensi international di bidang hak cipta, yaitu :
a. Berne Convention tanggal 7 Mei 1997 dengan Keppres No.18 Tahun 1997 dan dinotifikasikan ke WIPO pada tanggal 5 Juni 1997, Berne Convention tersebut mulai berlaku efektif di Indonesia pada tanggal 5 September 1997;
b. WIPO Copyrights Treaty (WCT) dengan Kepres No. 19 Tahun 1997. Kini, pemerintah Indonesia tengah mempersiapkan peratifikasian WIPO Performances and Phonogram Treaty (WPPT) 1996.
2. BPPT pada awal 2005 telah mendaftarkan Program Legasi Nasional ke DPR agar Pengetahuan Tradisional dapat dibuat undang-undangnya. Kemudian ada juga desakan dari negara berkembang untuk memasukkan Genetic Resources Traditional Knowledge and Folklore (GRTKF) ke dalam ketentuan anggota WIPO yang berlaku secara internasional lewat international treaty.
3. Dalam forum internasional, wacana perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan dibicarakan dalam pertemuan antar Pemerintah negara-negara anggota WIPO (WIPO Intergovernmental Committee on Intellectual Properly Rights and Genetic Resources, Traditionaol Knowledge and Folklore/IGC-GRTKF).
4. Membuat aturan hukum yang dapat dipahami dengan mudah oleh warga masyarakat karena sesuai dengan sistem nilai, pandangan, sikap, dan perilaku warga masyarakatnya, serta mampu memberikan peluang kepada mereka untuk ikut berpartisipasi mewujudkan idea pemanfaatan warisan budaya sebagai alternatif sumber ekonomi yang baru.
5. Indonesia memimpin pertemuan Komite Antar Pemerintah mengenai perlindungan HKI di Swiss.
6. Karena berangkat dari konsep individualistik, maka saat ini, hak cipta tidak bisa diregistrasi atau didaftarkan atas nama sebuah komunitas atau daerah regional, tapi harus secara perseorangan atau atas dasar sebuah entitas bisnis. Memang belakangan ini Indonesia dan beberapa Negara lain, seperti Brasil, Canada, India, Argentina, dll berusaha untuk menggolkan UU Folklore (Hak Cipta atas nama Nenek Moyang atau regional) dengan menggelar Gerakan Access for Knowledge (A2K Movement). Gerakan A2K ini prihatin dengan regulasi-regulasi hak cipta yang mempengaruhi akses-akses seimbang akan pengetahuan yang sangat diperlukan oleh sebuah masyarakat, demi kelangsungan hidup dan peningkatan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Selain itu, gerakan A2K ini sangat mendukung kreatifitas dan inspirasi-inspirasi yang dihasilkan oleh komunitas-komunitas. Gerakan A2K mencoba melindungi sumber-sumber dari penciptaan dan managemen pengetahuan atau kekayaan budaya sebuah peradaban. Sayangnya, di Indonesia sendiri yang merupakan salah satu negara terkaya di dunia dalam hal keanekaragaman seni & budaya, UU Folklore belum-belum juga disahkan oleh DPR RI.
7. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata akan menyusun kebijakan perlindungan kepemilikan Hak kekayaan Intelektual (HKI) pengetahuan teknologi tradisional yang masih banyak dimiliki oleh suku bangsa di Indonesia.
8. Di samping itu, untuk memperkuat komitmen yang ada, pada tahun 2003 diterbitkan surat edaran Menteri Kebudayaan dan Pariwisata yang intinya meminta kepada daerah untuk melakukan inventarisasi teknologi tradisional yang ada di masing-masing daerah.
9. Data yang diperoleh melalui deskripsi-deskripsi tersebut nantinya secara bertahap akan dimasukkan ke dalam data base untuk memudahkan kepemilikan suatu karya dan produk pengetahuan teknologi tradisional masuk dalam perlindungan HKI.
WIPO dan Manfaatnya
WIPO Adalah Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia atau disebut juga World Intellectual Property Organization (WIPO) (bahasa Perancis : Organisation mondiale de la propriété intellectuelle atau OMPI) adalah merupakan salah satu badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa. WIPO dibentuk pada tahun 1967 dengan tujuan "untuk mendorong kreativitas dan memperkenalkan perlindungan kekayaan intelektual ke seluruh dunia."
WIPO saat ini beranggotakan 184 negara, serta menyelenggarakan 23 perjanjian internasional, dengan kantor pusatnya di Jenewa, Swiss. Vatikan dan hampir seluruh negara anggota PBB merupakan anggota WIPO. Negara-negara yang tidak menjadi anggota WIPO ini adalah Kiribati, Kepulauan Marshall, Federasi Mikronesia, Nauru, Palau, Palestina, Republik Demokrasi Arab Sahrawi, Kepulauan Solomon , Taiwan, Timor Leste, Tuvalu, dan Vanuatu.
Pendahulu WIPO bernama BIRPI (Perancis : Bureaux Internationaux Réunis pour la Protection de la Propriété Intellectuelle, yang didirikan tahun 1893 untuk mengawasi Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra dan Konvensi Paris tentang Perlindungan Hak atas Kekayaan Industri.
WIPO secara resmi dibentuk oleh Konvensi Pembentukan Organisasi Hak Atas Kekayaan Intelektual Dunia (ditandatangani di Stockholm pada tanggal 14 Juli 1967 dan diperbaiki pada tanggal 28 September 1979). Berdasarkan pasal 3 dari konvensi ini, WIPO berupaya untuk "melakukan promosi atas perlindungan dari hak atas kekayaan intelektual (HKI) ke seluruh penjuru dunia." Pada tahun 1974 WIPO menjadi perwakilan khusus PBB untuk keperluan tersebut.
Tidak seperti cabang-cabang lain dari PBB, WIPO memiliki sumber dana sendiri yang cukup besar, di luar kontribusi dari negara-negara anggotanya. Pada tahun 2006, di atas 90% dari pemasukannya yang berkisar 500 juta CHF diperkirakan berasal dari pendapatan berbentuk imbal jasa yang diperoleh International Bureau (IB) dari aplikasi HAKI dan sistem registrasi yang mengatur Traktat Kerjasama Paten, Sistem Madrid untuk merek dan Sistem Den Haag untuk Hak atas Desain Industri.
Batik, Tari Pendet dan lain-lain merupakan salah satu kasus nyata bagaimana kekayaan asli kita yang sudah ratusan tahun dipelihara tiba-tiba diklaim sebagai hasil karya Malaysia. Malaysia adalah negeri yang sebenarnya tidak kreatif tapi pintar mengelola SDM-nya. Sedangkan kita sebaliknya.
Paten itu meyangkut penemuan teknologi baru. Adapun batik bukan teknologi baru. Maka batik tidak bisa dipatenkan. Kalau seseorang menciptakan motif batik, dan dia ingin karyanya tidak dibajak orang lain, maka yang bisa dilakukan adalah mendaftarkan Hak Cipta-nya ke Haki, bukan mematenkan karyanya. Jadi hanya satu motif itu yang tidak boleh ditiru/dibajak orang lain.
Selama ini telah terjadi salah faham soal batik. Yang sebenarnya terjadi adalah, ada satu perusahaan di Malaysia. Perusahaan ini mendapat order untuk membuat motif tertentu sesuai pesanan klien. Klien ingin motif yang dibuat adalah motif batik. Maka dibuatlah motif batik ini. Nah, supaya motif ini tidak dibajak perusahaan lain, sang pembuat mendaftarkan hak cipta-nya ke World Intellectual Property Rights Organization (WIPO). Jadi hanya motif tertentu itu saja yang didaftarkan, bukan dipatenkan.
Motif batik jumlahnya bisa jutaan motif. Mungkin 99% diciptakan oleh orang Indonesia. Malaysia tidak bisa mematenkan design, kalau teknologinya bisa dipatenkan misalnya orang menemukan teknologi... cetak batik dalam sedetik... yang seperti itu baru bisa untuk dipatenkan.
Indonesia selaku anggota World Intelectual Property Organization(WIPO) yang telah memilkik UU HKI sudah tentu perlu bersikap cerdas dan cerdik dalam memanfaatkan keanggotaan di WIPO ini bagi semaksimalnya kepentingan nasional bangsa dan negara Indonesia.
Jangan sampai keanggotaan Indonesia di WIPO ini malah menyebabkan kerugian besar dalam bidang perekonomian dan perdagangan Internasional, serta memberikan kesengsaraan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Misalnya, banyaknya Kepemilikan Intelektual Bangsa Indonesia berupa hasil karya seni dan budaya asli Indonesia malah terlepas dari tangan kita, menjadi milik bangsa dan negara asing. Sepertli lagu-lagu karya asli bangsa Indonesia, pola desain batik,tarian, ukiran, tenunan, kerajinan tangan, dll, tanpa kita sadari, terlepas dari tangan bangsa Indonesia.
Produk budaya tradisional kita, terutama yang telah menjadi public domain, memerlukan pengakuan internasional dan perlindungan secara global. Untuk itu perlu pemahaman yang tepat dan upaya terpadu untuk memperjuangkannya.
Pemerintah perlu segera membuat kebijakan tentang perlindungan Pengetahuan Tradisional. Sejauh ini secara eksplisit masalah Pengetahuan Tradisional hanya terkait pada UU Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 pasal 10, UU Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 pasal 10 dan Regulatory Instrument article 23.2 : The Government shall protect the traditional knowledge folklore, as well as biological and non biological diversity in Indonesia. Hal ini sangat lemah untuk melindungi masyarakat sebagai sumber pengetahuan tradisional, sehingga diperlukan produk legal tersendiri. Sementara itu, banyak negara sudah memiliki UU Pengetahuan Tradisional dan badan khusus yang menangani perlindungan pengetahuan tradisional.
terimakasih blog nya
BalasHapussangat membantu :)
kejadian2 tersebut menurut saya ada andil dari pemerintah yg kurang begitu perduli
BalasHapus