Persaingan geopolitik di Samudera Hindia
Letak
geografis Negara Indonesia, berbatasan langsung dengan wilayah laut dan
perairan yang tengah berlangsung persaingan geopolitik di Kawasan Asia Pasifik,
khususnya di perairan Samudera India, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Persaingan
di kawasan ini dilatarbelakangi oleh kepentingan negara-negara Asia Pasifik
dalam kaitan dengan isu energi. Bagi
negara-negara di kawasan Asia Pasifik isu energi merupakan salah satu isu krusial. Karena banyak negara di wilayah
ini mempunyai ketergantungan terhadap energi fosil (minyak dan gas bumi). Munculnya negara-negara kekuatan
ekonomi baru di kawasan seperti Cina, Korea Selatan, India dan beberapa negara
Asia Tenggara, berbanding lurus dengan meningkatnya pemenuhan kebutuhan energi
mereka. China dan beberapa negara kekuatan
ekonomi baru, berkepentingan dalam pemenuhan kebutuhan energinya yang besar
untuk industri, sedangkan negara-negara Asia Tenggara juga mulai tumbuh menjadi
negara industri yang memerlukan pasokan energi yang besar pula.
Negara
lain di kawasan Asia Pasifik yang terus meningkat kebutuhan minyaknya adalah Amerika
Serikat, Jepang, Cina dan India. Amerika
Serikat merupakan satu dari sedikit negara yang mampu melaksanakan
swasembada energi, namun minyak dan gas bumi adalah pengecualiannya di mana
setiap hari negara itu mengimpor 4,7 juta barel per hari pada 2004. Tingginya
akan pasokan kebutuhan minyak dari luar negeri membuat negara itu aktif mencari
sumber energi di luar negeri dengan segala cara, termasuk melalui penggunaan
kekuatan militer. Jepang sebagai
negara industri terbesar di Asia Timur sangat tergantung pada impor minyak, di
mana pada 2004 mengimpor 5,449 juta barel per hari. Ketergantungan pada impor
minyak membuat isu keamanan energi Jepang mempunyai hubungan erat dengan
kebijakan pertahanannya, karena kegagalan militer negeri itu di masa lalu
mengamankan garis perhubungan lautnya berkontribusi pada kekalahan dalam Perang
Dunia Kedua. Cina juga
terus meningkat kebutuhan
pasokan minyak dari luar negeri, di mana pada 2005 mengimpor
3,181 juta barel per hari. Ketergantungan Cina terhadap impor minyak
diperkirakan akan meningkat dari 40 persen pada 2004 menjadi 50 persen pada
2020. Mengingat bahwa Cina ke depan akan terus tergantung pada minyak impor,
kebijakan pertahanan dan luar negeri Cina diarahkan untuk mengamankan pasokan
energi dari luar negeri. India yang
tengah tumbuh menjadi kekuatan ekonomi kawasan pada 2005 diperkirakan mengimpor
minyak sebesar 2.09 juta barel per hari. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi
India, sejak pertengahan 1990-an kebijakan pertahanan dan luar negeri India
salah satunya diarahkan pada pengamanan pasokan minyaknya dari luar negeri.(FKPMaritim, 2007).
Di kawasan
Asia, China muncul sebagai new emerging power dan great
economic power di tatanan dunia global. Pada saat Angkatan Laut
Amerika Serikat sedang dalam masa sulit terutama dalam proses pengadaan
kapalnya dan sedang berjuang untuk menyesuaikan postur Angkatan Lautnya dalam
menghadapi penurunan pertumbuhan PDB, sebaliknya anggaran pertahanan China
telah meningkat dua digit dalam dua dekade. Bahkan sektor ekonomi China sendiri
meskipun juga imbas dari krisis global, diprediksi akan meningkat sekitar 8
atau 10 persen per tahun dalam tahun-tahun mendatang (Kaplan: 2010). Dengan
pertumbuhan ekonomi China yang meningkat secara signifikan di kawasan tersebut,
menyebabkan Amerika Serikat kembali mengalihkan fokus perhatiannya pada kawasan
Asia Pasifik. Tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi China mendorong China untuk
menanamkan investasi di negara-negara berkembang di kawasan Asia Pasifik dan
kawasan-kawasan lainnya. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan dan kekuatan
ekonomi China, maka secara rasional China pun akan berupaya meningkatkan
kekuatan dan kapabilitas militernya. Persenjataan bawah laut China
meliputi dua belas kapal selam diesel-listrik perusak kawal-rudal kelas Kilo,
dipersenjatai dengan wake-homing torpedo,
tiga belas kapal selam Song-class yang sama dengan kilo, dua kapal selam nuklir
Shang-class, dan satu kapal selam rudal-balistik nuklir Jin-class, dengan tiga
lagi sedang dalam proses pembuatan (Kaplan, 2010). Hal inilah yang menjadi ancaman
bagi Amerika Serikat. Secara khusus China meningkatkan kekuatan Angkatan
Lautnya. Yang ditujukan sebagai upaya mengembangkan dan mempertahankan
pengaruhnya di Laut China Selatan, yang masih dalam sengketa perebutan wilayah
di Kepulauan Spartly dan Paracel. Dengan terus meningkatnya hegemoni China di
kawasan Asia Pasifik yang berarti akan mengancam kebebasan pelayaran di Laut
China Selatan, sehingga bisa merugikan negara-negara di Asia Timur yang
ekonominya bergantung dari Jalur Selat Malaka–Laut China Selatan. Imbasnya juga
akan dirasakan Amerika, karena negara-negara Asia Timur merupakan mitra dagang
Amerika yang strategis.
Amerika
Serikat sudah pasti akan membendung dengan segala cara
munculnya negara-negara lain sebagai peer competitor-nya,
karena kemunculan itu akan mengganggu perannya dalam percaturan global. Dari
semua negara di dunia saat ini, China dipandang oleh banyak pihak, termasuk
oleh Amerika Serikat sendiri, akan menjadi peer competitor di
masa depan. Oleh karena itu, dengan segala cara Amerika Serikat akan
menghalangi kemunculan China sebagai pesaing di masa depan. Salah satunya
adalah dengan mengendalikan jalur pasokan energi China memanfaatkan
superioritas militer Amerika Serikat, khususnya Angkatan Lautnya, yang mampu
beroperasi secara global.
Selat
Malaka adalah chokepoint penting bagi
perdagangan minyak dunia karena besarnya jumlah minyak melintas melalui selat
itu, dan jumlah ini diperkirakan akan meningkat secara signifikan dalam
dekade yang akan datang. Adanya keinginan dari beberapa negara pengguna untuk
mengamankan perairan Selat Malaka, di samping menimbulkan tantangan dari
beberapa negara pantai, juga menimbulkan ketidaksukaan pada negara-negara lain
yang turut merasa berkepentingan di Selat Malaka. Salah satu negara yang
bersikap demikian adalah China, karena China memandang inisiatif demikian
merupakan agenda terselubung untuk mengganggu pasokan energinya dari Timur
Tengah (FKPMaritim, 2007).
Sedangkan
persaingan geopolitik di perairan Samudera India, terjadi antar negara-negara
aktor kawasan seperti Amerika Serikat, Jepang dan India yang bereaksi atas
mempunyai kekhawatiran terhadap manuver politik China di kawasan Asia Tenggara
dan Samudera India. Misalnya kerjasama pertahanan antara China dengan Pakistan
dan kian eratnya hubungan China dengan beberapa negara pantai Selat Malaka.
Untuk membendung manuver politik di China di Asia Tenggara dan Samudera India,
ketiga negara tersebut secara bilateral telah melakukan beberapa kerjasama,
seperti perjanjian pertahanan Jepang-India. Begitu pula dengan kerjasama
pertahanan dan militer antara Amerika Serikat-India yang meningkat sejak 2002,
di antaranya melalui Latihan AL Bersama Tahunan bersandi Malabar (FKPMaritim). Jepang
menganggap bahwa pengamanan garis perhubungan laut sebagai sesuatu yang vital
dan terkait dengan hidup matinya negeri tersebut. Terkait dengan pasokan
energi, perairan Selat Malaka dan Samudera India adalah dua perairan vital bagi
jalur energinya. Dalam strategi keamanan energi Jepang, faktor China mendapat
perhatian besar karena ada kekhawatiran bila China mampu melakukan dominasi
terhadap Samudera India, maka hal itu akan mengancam keamanan energinya. Selain
di Samudera India, Jepang juga memperhatikan dengan seksama aktivitas China di
Selat Malaka.
Dampak
dari persaingan geopolitik antara aktor-aktor utama kawasan. akan terasa nyata
di perairan yurisdiksi Indonesia, khususnya di perairan Alur Laut Kepulauan
Indonesia dan sekitarnya. Karena sebagai negara yang secara geografis berada di
tengah-tengah arena rivalitas geopolitik tersebut, akan menjadikan perairan
Indonesia sebagai jalur pergeseran kapal-kapal perang menuju daerah konflik.
Mengingat posisi Laut Jawa yang secara langsung berdampingan dan terhubung
dengan Samudera Hindia, Laut China Selatan dan Selat Malaka. Atau, Laut Jawa
akan menjadi rute alternatif bagi kapal-kapal niaga yang menghindari wilayah
perairan yang sedang dilanda konflik. Dan yang lebih parah lagi, bisa jadi
justru konflik yang terjadi menggunakan area perairan di wilayah yurisdiksi
Indonesia contohnya di jalur ALKI.
Peran Indonesia di Kawasan regional Samudera Hindia
Untuk menghindari adanya persaingan dan perebutan
pengaruh di kawasan regional Samudera Hindia, diperlukan upaya yang lebih besar
untuk menjaga stabilitas kawasan. Dan di sinilah Indonesia dapat memainkan
peran untuk membuat sebuah forum regional. Indonesia memiliki posisi yang cukup
ideal untuk menerapkan konsep persamaan di Samudera Hindia khususnya karena di
Samudera Hindia, Indonesia juga tidak memiliki konflik dengan negara lain.
Bersama Malaysia dan Singapura, Indonesia bahkan mencontohkan kerjasama
keamanan trilateral dalam Malacca Strait Sea Patrol. Indonesia
memiliki potensi untuk mempengaruhi arah dan bentuk dinamika kawasan Samudera
Hindia. Berkaca pada kelihaian diplomatiknya di Asia Tenggara dan Pasifik,
Indonesia pasti bisa melakukan hal yang sama untuk membentuk sebuah forum
kerjasama regional di Samudera Indonesia.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menetapkan konsep
Negara Indonesia sebagai poros maritim dunia, sehingga Indonesia bisa memainkan
perannya sebagai negara maritim, termasuk dalam kebijakan luar negeri di
Samudera Hindia ini.